Rabu, 11 Agustus 2010

Pentingnya Implementasi Corporate Social Responsibility Pada Masyarakat Indonesia

Abstract
The program of Corporate Social Responsibility is the social program that provides a lot of contributions in solving social problems in job opportunities, health, education, economy, and the environment. The implementation of the CSR program still faces some obstacles, namely, the program has not been socialized. Another barrier is the difference of viewpoint between the Department of Laws and Human Right and the Department of Industry. The other is that there is no clear regulation on the implementation of CSR. However, CSR program can improve the spirit of togetherness among different communities.
Sejarah Singkat
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak – for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.
Model dan Cakupan CSR
CSR bisa dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan di bawah divisi human resource development atau public relations. CSR bisa pula dilakukan oleh yayasan yang dibentuk terpisah dari organisasi induk perusahaan namun tetap harus bertanggung jawab ke CEO atau ke dewan direksi.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan mitra lain, seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan. Beberapa perusahaan ada pula yang bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-sama menjalankan CSR. Beberapa perusahaan bahkan ada yang menjalankan kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas berbendera CSR (Suharto, 2007a). Pada awal perkembangannya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori ”perusahaan impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008). Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan karitatif semacam itu, karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. Sebagai contoh, Shell Foundation di Flower Valley, Afrika Selatan, membangun Early Learning Centre untuk membantu mendidik anak-anak dan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru bagi orang dewasa di komunitas itu. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan seperti Freeport, Rio Tinto, Inco, Riau Pulp, Kaltim Prima Coal, Pertamina serta perusahaan BUMN lainnya telah cukup lama terlibat dalam menjalankan CSR. Kegiatan CSR yang dilakukan saat ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan needs assessment. Mulai dari pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi UKM, social forestry, penakaran kupu-kupu, pemberian beasiswa, penyuluhan HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar do good dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang – Undang CSR
Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, yang hingga kini – sepengetahuan penulis, belum dikeluarkan.
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional. Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun (lihat Majalah Bisnis dan CSR, 2007). Namun, UU ini pun masih menyisakan pertanyaan. Selain hanya mengatur BUMN, program kemitraan perlu dikritisi sebelum disebut sebagai kegiatan CSR. Menurut Sribugo Suratmo (2008), kegiatan kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial dari perusahaan, namun di sini masih ada bau bisnisnya. Masing-masing pihak harus memperoleh keuntungan.
Pertanyaannya: apakah kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang menguntungkan secara ekonomi kedua belah pihak, dan apalagi hanya menguntungkan pihak pengusaha kuat (cenderung eksploitatif) bisa dikategorikan sebagai CSR?
Meskipun CSR telah diatur oleh UU, debat mengenai ”kewajiban” CSR masih bergaung. Bagi kelompok yang tidak setuju, UU CSR dipandang dapat mengganggu iklim investasi. Program CSR adalah biaya perusahaan. Di tengah negara yang masih diselimuti budaya KKN, CSR akan menjadi beban perusahaan tambahan disamping biaya-biaya siluman yang selama ini sudah memberatkan operasi bisnis. Ada pula yang menyoal definisi dan singkatan CSR, terutama terkait hurup ”R” (Responsibility). Dalam Bahasa Inggris, “responsibility” berasal dari kata ”response” (tindakan untuk merespon suatu masalah atau isu) dan ”ability” (kemampuan). Maknanya, responsibility merupakan tindakan yang bersifat sukarela, karena respon yang dilakukan disesuaikan dengan ability yang bersangkutan. Menurut pandangan ini, kalau CSR bersifat wajib, maka singkatannya harus diubah menjadi CSO (Corporate Social Obligation).
Selain itu, kalangan yang kontra UU CSR berpendapat bahwa core business perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena itu, ketika perusahaan diwajibkan memerhatikan urusan lingkungan dan sosial, ini sama artinya dengan mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah menjadi korporasi yang mencari keuntungan ekonomi.
Kelompok yang setuju dengan UU CSR umumnya berargumen bahwa CSR memberi manfaat positif terhadap perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan brand differentiation perusahaan, CSR juga berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh license to operate, baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSR juga bisa berfungsi sebagai strategi risk management perusahaan (Suharto, 2008). Meskipun telah membayar pajak kepada pemerintah, perusahaan tidak boleh lepas tangan terhadap permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar perusahaan. Di Indonesia yang masih menerapkan residual welfare state, manfaat pajak seringkali tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat kelas bawah, orang miskin dan komunitas adat terpencil. Oleh karena itu, bagi kalangan yang setuju UU CSR, CSR merupakan instrumen cash transfer dan sumplemen system ”negara kesejahteraan residual” yang cenderung gagal mensejahterakan masyarakat karena kebijakan dan program sosial negara bersifat fragmented dan tidak melembaga.
Definisi CSR
Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Sayangnya, belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Beberapa definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian CSR menurut berbagai organisasi (lihat Majalah Bisnis dan CSR, 2007; Wikipedia, 2008; Sukada dan Jalal, 2008).
  • World Business Council for Sustainable Development: Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.
  • International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
  • Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.
  • Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.
  • European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
  • CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders.
Selain itu, ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility juga memberikan definisi CSR. Meskipun pedoman CSR standard internasional ini baru akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan rujukan. Menurut ISO 26000, CSR adalah:
Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (draft 3, 2007).
Berdasarkan pedoman ini, CSR tidaklah sesederhana sebagaimana dipahami dan dipraktikkan oleh kebanyakan perusahaan. CSR mencakup tujuh komponen utama, yaitu: the environment, social development, human rights, organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues (lihat Sukada dan Jalal, 2008).
Jika dipetakan, menurut saya, pendefinisian CSR yang relatif lebih mudah dipahami dan bisa dioperasionalkan untuk kegiatan audit adalah dengan mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (Elkington, 1998) dan menambahkannya dengan satu line tambahan, yakni procedure (lihat Suharto, 2007a).
Dengan demikian, CSR adalah: Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Dalam aplikasinya, konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam ISO 26000. Konsep planet jelas berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya bisa merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja). Melainkan pula, kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues.
Corporate Social Responsibility antara Tuntutan dan Kebutuhan
Dalam evolusi pemasaran terdapat lima konsep yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Yang pertama adalah konsep produksi dimana konsumen akan membeli suatu produk apabila harganya murah dan mudah didapat. Kedua, konsep produk yaitu konsumen akan menyukai produk yang mempunyai mutu terbaik, kinerja terbaik dan sifat paling inovatif. Ketiga, konsep penjualan dimana konsumen akan membeli produk apabila ada usaha penjualan danpromosi dalam skala besar. Keempat, konsep pemasaran dimana pencapaian tujuan organisasi tergantung penentuan kebutuhan dan keinginan konsumen dan memuaskannya lebih efektif dan efisien dari pada saingan. Kelima, pemasaran berwawasan social dimana pencapaian tujuan organisasi tergantung penentuan kebutuhan dan keinginan konsumen memenuhinya lebih efisien dari pada saingan melalui peningkatan kesejahteraan konsumen dan masyarakat.
Pada saat sekarang ini konsep pemasaran sudah berada pada tahap kelima dimana konsumen dalam membeli produk suatu perusahaan tidak hanya sekedar memperhatikan suatu produk apakah bisa memenuhi kebutuhan mereka secara lebih efisisen dari pada saingan tapi juga dengan kritis melihat apakah keberadaan perusahaan telah berkontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga apakah keberadaan perusahaan tidak menjadi bencana di tengah masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kritis konsumen juga selektif melihat apakah suatu perusahaan tidak melakukan hal-hal tidak terpuji seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumberdaya alam, manipulasi pajak dan penindasan terhadap hak-hak buruh.Tekanan yang kuat dari masyarakat terutama di tengah masyarakat yang kritis seperti Eropa mengharuskan perusahaan menata kembali konsep bisnis mereka tidak sekedar berorientasi profit belaka tetapi juga harus memiliki tanggung jawab social atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Corporate Social Responsibility. Konsep dan praktek Corporate Social Responsibility sudah menunjukan suatu keharusan, para pemilik modal tidak bisa lagi menganggap sebagai suatu pemborosan hal ini berkaitan meningkatnya kesadaran social kemanusiaan dan lingkungan. Tuntutan untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility makin tinggi termasuk perusahaan di Indonesia terutama ketika hendak go international atau sekedar menjalin kerjasama dengan perusahaan dari Negara maju. Biasanya yang ditanyakan oleh calon mitra bisnis adalah apa saja program Corporate Social Responsibility nya.
Jika kita perhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan ilmu dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara berpikir, gaya hidup dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan perkembangan ini tumbuh gerakan konsumen yang kita kenal sebagai vigilante consumerism yang kemudian berkembang menjadi ethical consumerism. Sehubungan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan akan CSR (Program Corporate Social Reponsibility) yang merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam sidang paripurna DPR.
Dengan adanya Undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang memberatkan. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut (Triple bottom line) sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.
Kita telah menyinggung sebelumnya bahwa konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Corporate Social Reponsibility) CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (Cost Center). CSR tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian, apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :
  1. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat.
  2. Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri.
  3. Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila dianalisis permasalahan di atas yang menyangkut belum tersosialisasikannya dengan baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat berkolaborasi dengan prosedur perusahaan.
Untuk menjawab pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan program CSR yang telah dijalankan. Di samping itu peranan perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi dapat sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. KK-Ilmu kemanusiaan melalui mata kuliah Kumunikasi Pembangunan sudah melakukan penelitian tentang implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan. Contohnya hasil riset pada siswa SMA Bale Endah, mereka memerlukan bantuan biaya sekolah untuk transportasi dan uang sekolah.tetapi yang diperoleh dari program CSR perusahaan pemberi bantuan tersebut berupa seperangkat komputer dan internet berikut pelatihan bagi guru. Jelas program CSR tidak mengenai sasaran. Apa yang diperlukan oleh siswa dengan apa yang diberikan perusahaan melalui program CSR sebelumnya tidak tepat sasaran. Permasalahan ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan tetapi setelah mahasiswa yang mengambil matakuliah Komunikasi pembangunan melakukan riset, ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa dengan apa yang diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada pihak pemberi bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini. Karena keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif lagi untuk kedepannya. Mahasiswa tidak hanya melakukan riset dibidang pendidikan saja, tetapi juga melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus ITB, tepatnya di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal. Program ini memerlukan tempat perlatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerjasama untuk melaksanakan program tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan. Program CSR ini, masih menyimpan banyak polemik di kalangan departemen Hukum dan HAM yang berusaha mewajibkan CSR bagi perusahaan, sedangkan Departemen perindustrian tidak mewajibkan perusahaan tidak memiliki program CSR. Hal ini merupakan Full Anomali (terbalik-balik). Departemen Hukum dan HAM yang seharusnya mendukung pengusaha karena azas kebebasan, malah mewajibkan CSR sedangkan Departemen Perindustrian yang mestinya diwajibkan CSR justru dibebaskan dari tuntutan kewajiban CSR. Dikalangan perusahaan dan Industri. Dalam serba ketidak pastian ini Forum Ekonomi Dunia melalui Global Govermance Initiative menggelar World Business Council For Sustainablle Development di New York pada tahun 2005, salah satu deklarasi penting disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan Millennium Development Goalds (MDGs). Adapun tujuan utama MDGs adalah mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan ditahun 2015. Pantas untuk dicatat tujuan ini jelas maha berat, mengingat pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan toh malah bertambah.
Human Depelopment Report tahun 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5 milyar jiwa hidup dengan upah dibawah US$ 2/hari/kapita. Total upah ini nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia , setiap hari 1200 anak-anak mati karena kelaparan. HDR mensinyalir 10% orang terkaya di dunia menguasai 54% total pendapatan dunia yang yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak perusahaan perlu menyisihkan uang dari keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan dimasukkan kedalam biaya investasi yang harus ditanggung pemerintah.
Bila dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan menimbulkan penafsiran sendiri, hal ini dapat dilihat dari masing-masing perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang terpenting adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable). Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stake holder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listri tenaga air swadaya masysrakat.
Program CSR yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan dimsyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciftakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercifta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore, menurut mereka bahwa didalalm masyarakat terdapat Stratifikasi social dimana stratifikasi social itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang membutuhkan berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi social, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses berlajar yang lama dan mahal. Agar masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat membangun tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat, untuk itu didukung oleh program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
Kesimpulan
Istilah CSR (Corporate Social Responsibility) mulai digunakan sejak tahun 1970a dan di Indonesia istilah CSR baru digunakan sejak tahun 1990-an. Sebagian besar perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan mitra lain, seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan. Dimana pengertian dari CSR (Corporate Social Responsibility) dapat didefenisikan sebagai Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Undang-undang tentang CSR di Indonesia diatur dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Selajutnya lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan professional merupakan wujud nyata dari pelaksanaan CSR di Indonesia dalam upaya penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Minggu, 08 Agustus 2010

Risalah Sidang

RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 38/PUU-VIII/2010
PERIHAL
Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON
- Lily Chadidjah Wahid
ACARA
Pemeriksaan Perbaikan Permohonan (II)
Kamis, 22 Juli 2010 Pukul 13.10 – 13.39 WIB
Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Maria Farida Indrati (Ketua)
2) M. Akil Mochtar (Anggota)
3) Muhammad Alim (Anggota)
Saiful Anwar Panitera Pengganti
2
Pihak yang Hadir:
Kuasa Hukum Pemohon:
- Saleh
- Dedy Cahyadi
- Moch. Sulaiman

Penolakan MK terhadap Judicial Review Pasal 74 UU Program CSR Berdampak Positif

Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan), dengan konsep pemikiran yang mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat (mandatory atau obligatory responsibility).
Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan keajibannya (mandatory). Sebaliknya, pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contradictio in-terminis atau merupakan pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah menempatkan dua kubu pengusaha, yaitu kubu pertama dengan pendekatan voluntary di posisi terdepan, maka argumen dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan dikembangkan berbagai standar program pelaksanaan CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap perusahaan tanpa adanya paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah atau Peraturan Perundang-undangan yang harus mengikat. Sedangkan kubu lainnya, pihak pengusaha pendukung CSR pendekatan mandatory (kewajiban yang mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentuk corporate accountability movement (CAM). Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi – baik secara lokal, nasional maupun internasional – harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas CSR minimum sesuai yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berdampak positif bagi masyarakat sekitarnya.
Disamping itu, masih terjadi wacana, kubu penolakan keras dari perusahaan atau kalangan pelaku bisnis beraliran ‘kapitalisme’ yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu. Apakah dari prosentase nilai profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut. Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul “The Future of Capitalism” (1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social ‘must’ in capitalism. Artinya, tidak ada namanya aspek tanggung jawab sosial perusahaan dalam pandangan perusahaan beraliran kapitalisme. Bahkan pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004), yang salah satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan amoral, dan “Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera.” Alasannya, bahwa perusahaan tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham, yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo “The business of business is business” yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa,
there is one and only one social responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan ‘amanah’ yang hanya dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut berbagai macam bentuk pajak atau pungutan kewajiban lainnya bagi setiap perusahaan. Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik berbentuk kapitalisme maupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT No. 40/2007, tentang PT (Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional pemberlakuannya tahun 2008, tetapi PP (Peraturan Pemerintah) hingga kini belum terbit, dan akan dikenakan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Seharusnya, jika mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini menjadi ‘musuh publik’ atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman dalam bukunya;
Business Ethic, Reading and Cases in Corporate Moralities (1990), yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah dibayar mahal secara periodik.
Dampak buruk dari demi komersialisasi atau ‘keserakahan’ dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis yang tidak memiliki tanggung jawab sosial perusahaan tersebut telah banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini jangan lupa kesadaran sosial-masyakat tersebut akan berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab dan moral bisnis yang beretika. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan-perusahaan yang bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan sosial yang telah menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan produknya disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya yang memmbuat ketidak-nyaman, pencemaran, polusi udara, dan dampaknya dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha sebagai akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak bersahabat.

Rabu, 13 Mei 2009

Menguji Komitmen Pengadilan Lewat Pos Bantuan Hukum

Kabarnya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan surat yang melarang penggunaan alamat pengadilan negeri sebagai alamat pos bantuan hukum. Makin menjauhkan akses masyarakat miskin terhadap bantuan hukum cuma-cuma.
Pertengahan 2008, areal ruang merokok di lantai 2 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pria berusia sekitar 20 tahun itu masih terus menghisap sebatang rokok. Sesekali sambil menerawang, ia menceritakan kehadirannya di pengadilan itu. “Saya di sini lagi nungguin sidang bapak saya mas,” kata dia membuka percakapan dengan hukumonline.

Secara runtut dia menuturkan bagaimana bapaknya ditangkap polisi atas tuduhan pasal kesusilaan dan bagaimana jaksa penuntut umum meminta uang untuk memuluskan persidangan. “Bapak saya nggak pake pengacara mas. Bingung mau cari di mana dan bayarnya pake apa.”

Mata pria itu sempat memendarkan semangat baru ketika hukumonline menceritakan adanya kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara gratis. Di tambah lagi dengan kebiasaan pengadilan yang menyediakan ruangan pos bantuan hukum untuk menerima kasus yang menimpa masyarakat tak mampu. “Kalau di sini ada di mana ya mas pos apa itu tadi?” tanyanya.

“Coba tanya ke pegawai di sini. Berapa bulan saya meliput di sini emang nggak pernah ngelihat ada pos bantuan hukum di pengadilan ini,” jawab hukumonline. “Oh gitu ya mas. Nanti saya tanya.”

Hukumonline tak pernah bertemu lagi dengan pria itu. Namun nampaknya pria itu harus menelan pil pahit untuk mencari pos bantuan hukum. Pasalnya, berdasarkan pantauan hukumonline di wilayah Jakarta dan sekitarnya, saat ini yang tak mempunyai ruangan pos bantuan hukum hanya PN Jakarta Pusat dan PN Tangerang.

Ketua PN Jakarta Pusat Andriani Nurdin membenarkan ketiadaan pos bantuan hukum (posbakum). “Katanya dulu pernah ada ruangan posbakum di sini, tapi sejak keluar surat dari Mahkamah Agung, ruangan itu tak ada lagi. Kalau tidak salah saat itu Ketuanya (PN Jakarta Pusat, red) Pak Cicut atau Pak I Made Karna,” kata Andriani kepada hukumonine di ruang kerjanya, awal Mei lalu.

Andriani lupa dalam bentuk apa Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan alamat pengadilan sebagai alamat posbakum. “Saya lupa mas. Kalau nggak salah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Yang pasti itu berlaku untuk seluruh pengadilan di Indonesia.”

Ricardo Simanjuntak, advokat yang kerap menangani perkara kepailitan membenarkan pernyataan Andriani. Namun ia juga mengaku lupa dengan bentuk apa MA mengeluarkan kebijakan itu. “Saat itu MA khawatir ada penyalahgunaan alamat pengadilan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.”

Mahkamah Agung melalui juru bicaranya, Hatta Ali mengaku tak tahu-menahu perihal kebijakan pelarangan Posbakum itu. Kalaupun ada, ia memakluminya. “Masa ada alamat yang sama dengan kantor pengadilan?”

Upaya hukumonline menelusuri surat itu melalui Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung pun tak membuahkan hasil. “Bukan SEMA kali?” ujar seorang staf yang tak berhasil menemukan barang yang dimaksud.

Rumah Keadilan
Advokat senior, Todung Mulya Lubis mengaku baru mendengar kebijakan MA ini. Jika benar, ia menyayangkan sikap MA yang tak terkesan mendukung pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini.

Pengadilan, kata Todung, seyogianya menjadi rumah keadilan bagi pencari keadilan. “Bukan menjadi tempat menghukum seseorang. Makanya harus diimbangi dengan penyediaan sarana dan fasilitas yang memudahkan seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum,” kata Todung, di Jakarta (6/5).

Pendapat senada dilontarkan Andriani. Menurut dia, idealnya tiap pengadilan memiliki posbakum. Hal ini penting agar pengadilan bisa cepat menunjuk seorang pengacara bagi terdakwa yang tak mampu. “Kalau sekarang, hakim bingung menunjuk pengacara untuk memberikan bantuan hukum.”

Selain untuk pembelaan terdakwa, posbakum juga efektif untuk tepat masyarakat berkonsultasi masalah hukum. Kini, tugas itu ada berada di pundak Ketua Pengadilan Negeri. Namun, Andriani memprediksi peran ketua pengadilan tak akan se-efektif posbakum. Sebabnya, seorang ketua pengadilan juga harus mengurus segala hal yang mencakup penyelenggaraan pengadilan.

Lain lagi dengan Ricardo. Meski mengakui peran posbakum sebagai pemberi bantuan hukum cuma-cuma, ia masih tetap berharap agar posbakum tak menggunakan alamat yang sama dengan pengadilan. “Tinggal pikirkan bagaimana caranya menentukan alamat posbakum untuk berkorespodensi.”

Selasa, 12 Mei 2009

HAK GUGATAN ORGANISASI

Bahwa di dalam berbagai diskusi, terutama dikalangan akademisi, LSM, maupun dari Kalangan Para Hakim berkaitan dengan Gugatan organisasi di Pengadilan. Gugatan tersebut dapat dikaji diberbagai peraturan berkaitan dengan legal standing dengan mengacu ketentuan-ketentuan antara lain :


a. Penjelasan Pasal 38 (3) UU No : 23/1997 yang menyiratkan " keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi ke pengadilan baik ke pengadilan umum maupun kepengadilan TUN, tergantung pada kompetensipengadilan yang bersangkutan dalam memriksa dan mengadili perkara yang dimaksud "

b. Pasal 53 ayat 1 UU No : 5 Tahun 1986, yang intinya pihak yang mengajukan gugatan ke PTUN adalah seorang atau badan hukum perdata, dalam masalah ini maka suatu organisasi / LSM asalkan berbentuk badan hukum perdata dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat mengajukan gugatan ke PTUN .


Sedangkan obyek sengketa yang dapat diajukan dalam gugatan hak organisasi adalah berupa keputusan TUN seperti keputusan tentang perizinan ,sebagaimana dimaksud pasal 18-21 UU No :23 Tahun 1997. Mengingat berlakunya azas ergo omnas di Peratun, dimana putusannya berlaku untuk umum maka yang paling efektif diterapkan adalah hak gugat organisasi ( legal standing ) karena di Peratun tuntutan utamanya bukan ganti rugi dan tidak diperlukan adanya prosedur notifikasi..