Minggu, 08 Agustus 2010

Penolakan MK terhadap Judicial Review Pasal 74 UU Program CSR Berdampak Positif

Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan), dengan konsep pemikiran yang mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat (mandatory atau obligatory responsibility).
Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan keajibannya (mandatory). Sebaliknya, pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contradictio in-terminis atau merupakan pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah menempatkan dua kubu pengusaha, yaitu kubu pertama dengan pendekatan voluntary di posisi terdepan, maka argumen dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan dikembangkan berbagai standar program pelaksanaan CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap perusahaan tanpa adanya paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah atau Peraturan Perundang-undangan yang harus mengikat. Sedangkan kubu lainnya, pihak pengusaha pendukung CSR pendekatan mandatory (kewajiban yang mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentuk corporate accountability movement (CAM). Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi – baik secara lokal, nasional maupun internasional – harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas CSR minimum sesuai yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berdampak positif bagi masyarakat sekitarnya.
Disamping itu, masih terjadi wacana, kubu penolakan keras dari perusahaan atau kalangan pelaku bisnis beraliran ‘kapitalisme’ yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu. Apakah dari prosentase nilai profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut. Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul “The Future of Capitalism” (1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social ‘must’ in capitalism. Artinya, tidak ada namanya aspek tanggung jawab sosial perusahaan dalam pandangan perusahaan beraliran kapitalisme. Bahkan pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004), yang salah satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan amoral, dan “Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera.” Alasannya, bahwa perusahaan tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham, yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo “The business of business is business” yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa,
there is one and only one social responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan ‘amanah’ yang hanya dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut berbagai macam bentuk pajak atau pungutan kewajiban lainnya bagi setiap perusahaan. Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik berbentuk kapitalisme maupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT No. 40/2007, tentang PT (Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional pemberlakuannya tahun 2008, tetapi PP (Peraturan Pemerintah) hingga kini belum terbit, dan akan dikenakan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Seharusnya, jika mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini menjadi ‘musuh publik’ atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman dalam bukunya;
Business Ethic, Reading and Cases in Corporate Moralities (1990), yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah dibayar mahal secara periodik.
Dampak buruk dari demi komersialisasi atau ‘keserakahan’ dari prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis yang tidak memiliki tanggung jawab sosial perusahaan tersebut telah banyak merusak kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini jangan lupa kesadaran sosial-masyakat tersebut akan berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa tanggung jawab dan moral bisnis yang beretika. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan-perusahaan yang bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah mengabaikan kekuatan sosial yang telah menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal, dan produknya disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran, menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya yang memmbuat ketidak-nyaman, pencemaran, polusi udara, dan dampaknya dapat menjerumuskan terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha sebagai akibat penolakan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak bersahabat.